Harus
Impor Kayu dari Malaysia
PALEMBANG, PT Tanjungenim Lestari Pulp and Paper (TEL) tidak terlalu
risau terhadap depresiasi rupiah terhadap dolar. Sebab sejauh ini,
hasil dari produksi PT TEL hanya 9 persen yang dipasarkan di dalam
negeri, sementara sisanya di ekspor ke beberapa negara.
Kepala
Divisi Administrasi, Muhammad Sirodji di dampingi Adrian Sartikon, HR
Manager mengungkapkan, dolar dalam beberapa bulan terakhir ini memang
melesat tak terkendal ketika dibandingkan dengan rupiah. Sebagian
perusahaan banyak yang menderita kerena biaya operasional mengalami
kenaikan yang signifikan.
“PT
TEL selama ini memang membutuhkan beberapa produk impor untuk
kebutuhan bahan baku produksi kertas, salah satu barang impor yang
rutin dibeli seperti cairan kimia dan garam sebagai bahan untuk
membuat adonan bubur kartas sebelum dicetak,” jelas Amrodji dan
rekan saat berkunjung ke Graha Pena, Senin (7/9).
Menurutnya,
garam merupakan bahan baku yang tidak bisa lepas, menggunakan garam
impor merupakan satu keharusan. Sebab sejauh ini belum ada garam
produksi lokal yang bisa digunakan untuk menghasilkan produk yang
bagus, akanya pihaknya masih menggunakan garam impor. “Kualitas
produk yang bagus terntu membutuhkan bahan baku yang bagus juga,”
katanya.
Saat
ini PT TEL memproduksi kertas bekisar 1.330 ton kertas kering setiap
hari, jumlah ini sebetulnya masih dibawah target kapasitas mesin,
sebab kapasitas semua mesin yang ada sanggup memproduksi lebih dari
1.400 ton kertas kering. “Produksi akan kembali normal sesuai
dengan kapasitas 202o mendatang ketika suplay dari perusahaan MHP
sudah kembali normal,” jelasnya.
Namun,
yang jelas sejauh ini PT TEL setidaknya mampu lolos dari jeratan
pusaran dolar. Sebab ketika banyak perusahaan terbelik pembengkakan
biaya operasional akibat beban kurs, PT TEL malah sebaliknya.
Pembelian bahan baku yang menggunakan dolar dapat diimbangi dengan
penjualan kertas juga menggunakan dolar.
Dari
total produksi PT TEL setiap tahunnya, penjualan produk untuk
kebutuhan nasional tidak terlalu besar, pasar nasional hanya menyerap
9 persen dari total produksi, pangsa pasar terbesar banyak diserap
oleh negara di Asia, seperti Cina yang mampu menyerap produk hingga
24 persen, Jepang 21 persen, Korea Selatan 19 persen Taiwan 16 persen
dan beberapa negara di kawasan asia lainnya. “Karena
penjualan dan pembelian bahan baku berimbang dalam artian sama-sama
menggunakan dolar beban operasional kami tidak terlalu terpengaruh.
Meski ada pembengkakan beban operasiona, kami bisa menutupinya
melalui penghematan disektor pengeluaran lainnya,” jelas Amrodji.
Namun
meski dari sisi beban operasional tidak terlalu terbebani dari nilai
kurs, saat ini permasalahan muncul dari bahan baku pembuat kertas.
Sejak beberapa tahun terakhir ini PT TEL mengalami masalah suplay
kayu dari perusahaan join company yakni PT MHP. Saat PT TEL mampu
mencatat surplus yang tinggi tahun 2007 lalu, MHP mampu memasok
kebutuhan kayu hingga 100 persen. Namun saat ini hanya mampu
mensuplau berkisar 20 persen.
Minimnya
suplay bahan baku kayu dari perusahaan rekanan membuat PT TEL harus
mencari alternatif bahan baku, makanya saat ini managemen harus
berjuang mencari bahan baku agar tetap bisa menghidupi 1.500 lebih
karyawan. Alternatif yang dilakukan dengan mendatangkan kayu dari
luar, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatra hingga daerah Sabah
dan Sarawak Malaysia. “Untuk
mendatangkan bayu dari jauh inilah yang membuat beban operasional
kita menjadi besar, makanya efisiensi tetap kita lakukan. Namun untuk
tenaga kerja kita upayakan tidak terjadi PHK,” katanya.
Permasalahan
pasokan kayu dari PT MHP ini sudah terjadi sejak 2011 lalu,
permasalahan adanya aturah hutan tanaman industri dari pemerintah
mengharuskan perusahaan rekanan melakukan peremajaan kayu.
“Sebelumnya kami mengandalkan kayu jenis akasia untuk bahan baku,
namun karena adanya aturan HTI kami mulai mengembangkan dengan
mencari alternatif bahan baku dari jenis kayu lainnya untuk tetap
bisa bertahan. Sebab menutup pabrik jauh lebih besar biayanya
ketimbang beroperasi,” tutupnya. (iam)