Senin, 07 September 2015

PT TEL Terkendala Bahan Baku


Harus Impor Kayu dari Malaysia

PALEMBANG,  PT Tanjungenim Lestari Pulp and Paper (TEL) tidak terlalu risau terhadap depresiasi rupiah terhadap dolar. Sebab sejauh ini, hasil dari produksi PT TEL hanya 9 persen yang dipasarkan di dalam negeri, sementara sisanya di ekspor ke beberapa negara.

Kepala Divisi Administrasi, Muhammad Sirodji di dampingi Adrian Sartikon, HR Manager mengungkapkan, dolar dalam beberapa bulan terakhir ini memang melesat tak terkendal ketika dibandingkan dengan rupiah. Sebagian perusahaan banyak yang menderita kerena biaya operasional mengalami kenaikan yang signifikan.
“PT TEL selama ini memang membutuhkan beberapa produk impor untuk kebutuhan bahan baku produksi kertas, salah satu barang impor yang rutin dibeli seperti cairan kimia dan garam sebagai bahan untuk membuat adonan bubur kartas sebelum dicetak,” jelas Amrodji dan rekan saat berkunjung ke Graha Pena, Senin (7/9).

Menurutnya, garam merupakan bahan baku yang tidak bisa lepas, menggunakan garam impor merupakan satu keharusan. Sebab sejauh ini belum ada garam produksi lokal yang bisa digunakan untuk menghasilkan produk yang bagus, akanya pihaknya masih menggunakan garam impor. “Kualitas produk yang bagus terntu membutuhkan bahan baku yang bagus juga,” katanya.

Saat ini PT TEL memproduksi kertas bekisar 1.330 ton kertas kering setiap hari, jumlah ini sebetulnya masih dibawah target kapasitas mesin, sebab kapasitas semua mesin yang ada sanggup memproduksi lebih dari 1.400 ton kertas kering. “Produksi akan kembali normal sesuai dengan kapasitas 202o mendatang ketika suplay dari perusahaan MHP sudah kembali normal,” jelasnya.

Namun, yang jelas sejauh ini PT TEL setidaknya mampu lolos dari jeratan pusaran dolar. Sebab ketika banyak perusahaan terbelik pembengkakan biaya operasional akibat beban kurs, PT TEL malah sebaliknya. Pembelian bahan baku yang menggunakan dolar dapat diimbangi dengan penjualan kertas juga menggunakan dolar.


Dari total produksi PT TEL setiap tahunnya, penjualan produk untuk kebutuhan nasional tidak terlalu besar, pasar nasional hanya menyerap 9 persen dari total produksi, pangsa pasar terbesar banyak diserap oleh negara di Asia, seperti Cina yang mampu menyerap produk hingga 24 persen, Jepang 21 persen, Korea Selatan 19 persen Taiwan 16 persen dan beberapa negara di kawasan asia lainnya. “Karena penjualan dan pembelian bahan baku berimbang dalam artian sama-sama menggunakan dolar beban operasional kami tidak terlalu terpengaruh. Meski ada pembengkakan beban operasiona, kami bisa menutupinya melalui penghematan disektor pengeluaran lainnya,” jelas Amrodji.

Namun meski dari sisi beban operasional tidak terlalu terbebani dari nilai kurs, saat ini permasalahan muncul dari bahan baku pembuat kertas. Sejak beberapa tahun terakhir ini PT TEL mengalami masalah suplay kayu dari perusahaan join company yakni PT MHP. Saat PT TEL mampu mencatat surplus yang tinggi tahun 2007 lalu, MHP mampu memasok kebutuhan kayu hingga 100 persen. Namun saat ini hanya mampu mensuplau berkisar 20 persen.

Minimnya suplay bahan baku kayu dari perusahaan rekanan membuat PT TEL harus mencari alternatif bahan baku, makanya saat ini managemen harus berjuang mencari bahan baku agar tetap bisa menghidupi 1.500 lebih karyawan. Alternatif yang dilakukan dengan mendatangkan kayu dari luar, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatra hingga daerah Sabah dan Sarawak Malaysia. “Untuk mendatangkan bayu dari jauh inilah yang membuat beban operasional kita menjadi besar, makanya efisiensi tetap kita lakukan. Namun untuk tenaga kerja kita upayakan tidak terjadi PHK,” katanya.

Permasalahan pasokan kayu dari PT MHP ini sudah terjadi sejak 2011 lalu, permasalahan adanya aturah hutan tanaman industri dari pemerintah mengharuskan perusahaan rekanan melakukan peremajaan kayu. “Sebelumnya kami mengandalkan kayu jenis akasia untuk bahan baku, namun karena adanya aturan HTI kami mulai mengembangkan dengan mencari alternatif bahan baku dari jenis kayu lainnya untuk tetap bisa bertahan. Sebab menutup pabrik jauh lebih besar biayanya ketimbang beroperasi,” tutupnya. (iam)