Penulis : Ilham
- PALEMBANG
Uang
merupakan alat tukar resmi untuk digunakan dalam sistem perdagangan.
Jauh sebelum uang banyak beredar, kita mengenal sistem perdagangan
melalui sistem barter atau tukar menukar barang tanpa menggunakan
uang.
Meski
sifatnya barter, namun pola perdagangan seperti ini tetap berlangsung
di pasar. Beras bisa ditukar dengan sayur, atau sebaliknya bergantung
dengan kebutuhan masing-masing. Namun pola perdagangan seperti ini
sulit untuk mengenali berapa nilai dari satu barang yang diperjual
belikan melalui sistem barter.
Dalam
perkembangannya, pemerintah melalui Bank Indonesia sejak 69 tahun
lalu mulai aktif menerbitkan uang sebagai alat tukar resmi dalam
perdagangan. Sejak dikenal dua jenis uang bahan logam dan bahan
kertas. Uang memang menjadi alat kebutuhan pokok sehari-hari, hampir
semua aktivitas membutuhkan uang. Membeli perlengkapan, sekolah
transportasi hingga buang kotoran dalam tubuh di tempat umum harus
membutuhkan uang.
Setiap
kepingan uang logam dan lembaran uang kertas, memiliki nilai yang
berbeda. Seperti kata pepatah tidak ada uang tak ada barang, artinya
ketika seseorang hendak membeli sesuatu uang yang harus disediakan
sebagai alat tukar resmi yang diterbitkan pemerintah. Bank Indonesia
selaku bank sentral yang memiliki mandat untuk menerbitkan uang
setiap tahunnya mencetak uang dalam jumlah besar tentu dengan biaya
yang cukup besar juga.
Perkembangannya di era yang semakin moderen, penggunaan uang sebisa
mungkin dikurangi. Ini menyusul dengan terus meningkatnya biaya
pencetakan uang. Satu riset menyebut, untuk satu lembar uang kertas
biaya pencetakannya berkisar Rp16, dikalikan saja dengan triliunan
lembar uang yang dicetak setiap tahunnya.
Bank
Indonesia bersama lembaga keuangan bank mulai mencari rumusan untuk
mengurangi angka peredaran uang, salah satu langkah yang ditempuh
melalui penerbitan uang kartu alat alat pembayaran berbentuk kartu.
Saat ini masyarakat sudah beredar beberapa jenis kartu yang bisa
difungsikan sebagai alat pembayaran, mulai dari katu debit, kartu
kredit hingga terbaru elektronic
money.
Semua jenis kartu ini merupakan alat pembayaran yang diterbitkan bank
selaku perusahaan yang dipercaya untuk tempat penyimpanan uang.
Alternatif
yang dilakukan dengan mengajak masyarakat khususnya yang sudah melek
perbankan, untuk beralih menggunakan sistem pembayaran non tunai atau
yang lazim disebut less
cash society.
Instrumen yang digunakan nasabah bank cukup banyak, mulai dari yang
paling canggih menggunakan internet banking, SMS banking, hingga
e-banking dan e-channel dan e-money. Sebelum instrumen canggih ini
dikenal, banyak masyarakat orang terlebih dulu sudah mengenal ATM dan
kartu kredit sebagai alat pembayaran menggunakan kartu.
Secara
nasional, Bank Indonesia terus menggalakkan sistem pembayaran tanpa
harus menggunakan uang melainkan menggantinya menggunakan kartu alat
sering disebut less
cash society.
Di provinsi Sumatera Selatan, Bank
Indonesia bersama lima bank mulai mencanangkan Gerakan Nasional Non
Tunai (GNNT) untuk sistem pembayaran masyarakat, sebagai langkah awal
membiasakan transaksi non tunai.
Ada lima bank yang
terkait dalam gerakan ini, yakni Bank Mandiri, Bank Sumsel Babel,
BCA, BRI dan BNI. Kepala Unit Sistem Pembayaran Bank Indonesia
Provinsi Sumatra Selatan Dadan M Sadrah mengungkapkan, GNNT ini
merupakan wujud dari perkembangan teknologi sehingga mendorong
masyarakat untuk mulai peka terhadap perkembangan teknologi termasuk
sistem pembayaran.
Salah satu tujuan
dari GNNT ini untuk memberikan kemudahan dan efisiensi waktu dalam
pembayaran sehingga sangat memungkinkan digunakan untuk pembayaran
yang sifatnya praktis namun terkadang antriannya panjang, seperti di
supermarket, tol maupun pengisian bensin.
Bank
Indonesia bersama kementerian terkait sudah mencanangkan GNNT ini
dibeberapa kota seperti Makassar, Banjar Masin, Denpasar, Surabaya,
Jogja, Bandung, Padang dan Palembang. Untuk pengenalan gerakan ini
semua kota tersebut menggan dengan perguruan tingga dan pemerintah
daerah. “Di Palembang sendiri responnya sangat bagus terutama dari
gubernur Sumsel yang turut ikut mendorong suksesnya program ini
kedepannya,” katanya.
Penerapan
less cash
society sudah
digaungkan sejak beberapa tahun terakhir. Namun sejauh ini
penetrasinya masih belum memuaskan. Kendala infrastruktur seperti
jaringan terlekomunikasi dan listrik kerap menjadi kendala yang
menyulitkan.
Kantor
Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah VII Palembang mencatat
infrastruktur menjadi hambatan dalam implementasi program less
cash society,
terutama di kabupaten dan kota yang memiliki desa pelosok yang jauh
dari jangkauan listrik dan jaringan telekomunikasi. Namun, BI
Palembang bersama bank mitra terkait akan terus berupaya secara
bertahap mengedukasi, sosialisasi guna tercapainya penerapan program
Layanan Keuangan Digital (LKD).
“Memang
kami akui di lapangan masih banyak ditemukan kabupaten kota yang
belum memiliki infrastruktur yang handal. Perbaikan infrastruktur
untuk menunjang LKD pastinya dilakukan secara bertahap, mulai dari
jaringan komunikasi, listrik PLN, SDM hingga mesin penunjang
penggunaan uang e-money,”
kata Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatra Selatan Hamid
Ponco.
Menurut
dia, terwujudnya program less
cash society ini
perlu mendapatkan perhatian serius dari semua perbankan yang ada di
Sumsel. Dia mengaku, penerapan e-money
ini bukan berarti secara langsung menghilangkan transaksi uang tunai.
Melainkan dilakukan bertahap seiring dengan upaya pembenahan
infrastruktur yang ada, baik yang dilakukan pemerintah, swasta maupun
perbankan.
”Kami
menjadi pilot project
implementasi dari uang elektronik atau e-money
di Sumatera. Sebagai tahap awal, kami me-launching
penggunaan e-money
di koperasi dan kantin dalam lingkungan Kantor Perwakilan BI
Palembang. Maksimum nilai uang dalam e-money
Rp1 juta,” terangnya.
Ke
depan, pihaknya akan terus melakukan edukasi dan sosialisasi atas
penerapan program LKD. Bahkan tidak menutupkemungkinan akan menjalin
kerjasama atau MoU dengan pemerintah provinsi untuk memperluas
penerapan less cash
society.
“Pengenalan
less cash society ada baiknya dilakukan didalam lingkungan keluarga.
Kami senantiasa mengedukasi masyarakat untuk menerapkan program less
cash society. Less
cash society ini
merupakan sebuah gaya hidup dimana uang cash digantikan oleh
keberadaan uang elektronik dalam tiap transaksi. Cukup satu kartu
saja nasabah dapat memanfaatkannya tanpa harus membawa uang cash,”
jelasnya.
Meski sudah
dicanangkan jauh-jauh hari, namun implementasinya tentu tidak mudah,
regulator bersama bank pelaksana harus menerobos kebiasaan yang sudah
dilakukan masyarakat secara turun temurun, ketika mereka ingin
berbelanja pasti akan membawa uang dalam bentuk cash tidak terlepas
besar kecilnya belanjaan. sementara disisi lain perbankan ingin
merupakan pola kebiasaan menggantikan uang dengan kartu tentu butuh
waktu.
Merubah watak dan
tradisi yang sudah melekat, butuh pengorbanan. Bagi bank untuk
membiasakan masyarakat beralih ke sistem pembayaran non tunai
membutuhkan modal yang tidak sedikit. sosialisasi berkala tentu
perlu dilakukan, sementara ketersediaan infrastruktur juga menjadi
hal yang wajib.
Ajak
Pemda jadi Pionnir
Bank Indonesia
mendorong pemerintah daerah untuk menjadi leader penerapan
sistem pembayaran dengan cara non tunai. Meski sudah dicanangkan oleh
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) namun baru 60 persen transaksi Pemda
menggunakan non tunai.
Usai acara
sosialisasi transaksi non tunai kepada Pemerintah Daerah, Kepala Unit
Sistem Pembayaran Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumsel, Dadan M
Sadrah mengungkapkan, selama ini yang menjadi kendala bagi pemda
untuk melakukan transkasi non tunai terletak pada faslitas dan
infrastruktur. Selain itu faktor pemahaman mayarakat juga kurang.
Dari berbagai
belanja pemerintah, seperti pajak, gaji PNS, tender proyek dan
lainnya sudah bisa dilakukan dengan cara non tunai. Namun ada
beberapa transaksi yang masih menggunkana pola pembayaran manual
alias menggunakan uang cash.
Kebanyakan transaksi
yang dilakukan menggunakan pola manual adalah belanja pemerintah yang
ditujukan kepada mayarakat terutama di pelosok yang belum memiliki
akses jaringan perbankan.
“Beberapa
transaksi seperti pembayaran pajak daerah, PNPB, bantuan sosial,
belanja perjalanan dinas, pembayaran barang dan jasa, PBB dan
transaksi lainnya. Kebanyakan transaksi ini dilakukan oleh mayarakat
atau unsur Pemda yang berada di daerah pelosok,” jelas Dadan.
Jika infrastruktur
sudah memadai, semua transaksi tersebut sebetulnya sudah bisa
dilakukan dengan sistem non tunai, asalkan peralatannya sudah
memadai. Melalui gerakan non tunai yang sudah dicanangkan, semuanya
bisa dilakukan.
Tinggal bagaimana
pemerintah dan perbankan memberikan akses mudah untuk penyebaran agen
Layanan Keuangan Digital (LKD). Sebab, dengan layanan ini, transaksi
tidak mesti harus datang ke jaringan kantor bank. Namun baik
pemerintah maupun mayarakat bisa bertransaksi dengan menggunakan
ponsel mereka masing-masing melalui perantara agen.
Untuk menggalakkan
sistem pembaran non tunai, tentu masih butuh perjuangan, sosialisasi
dan pendidikan keuangan kepada mayarakat. Sebab sejauh ini 90 persen
transaksi pembayaran yang dilakukan mayarakat masih menggunakan pola
tunai. Kondisi ini tentu menjadi cost yang berat bagi negara. Sebab,
biaya untuk mencetak uang sekarang ini sudah semakin mahal. “Kita
sudah saatnya meniru negara miskin di Afrika seperti Kenya yang sudah
menerapkan non tunai melebihi pembayaran tunai, atau mencontoh
Fhilipina yang transaksi non tunainya sudah mencapai 80 persen,”
kata Dadan.
Untuk itu,
pemerintah daerah harus menjadi pioner penerapan sistem pembayaran
non tunai ini, setidaknya Pemda memberikan contoh kepada masyarakat,
ketika mereka melakukan pembayaran tidak harus menggunakan uang
tunai. Jika sudah ada contoh, tentu Pemda tinggal memberikan
penekanan kepada masyarakat, jika melakukan hubungan transaksi jual
belu harus menggunakan mesin. Pola ini tentu bisa menjadi pengamanan
dari transai yang tidak semestinya atas penggunaan uang negara.
Kepala Bidang
e-Banking BRI, Johan Arief mengungkapkan, penetrasi penyebaran agen
LKD melalui produk BRILink saat ini sudah sangat bagsu, antusias
mayarakat terutama dipelosok sudah sangat tinggi. Sehingga meski
belum genap satu tahun diluncurkan BRI sudah merekrut agen lebih dari
tiga ribu agen.
“Bagi agen, selain
membantu penetrasi penerapan gerakan non tunai, menjadi agen juga
menjadi potensi tambahan penghasilan, sebab setiap transaksi yang
dilakukan mayarakat maka si agen akan mendapatkan fee dari bank
maupun dari nasabah,” jelas dia.
Bank
dalam Genggaman
Seiring
dengan upaya pemerintah melalui Bank Indonesia untuk
menggerakkan dan menggalakkan sistem pembayaran non tunai, perbankan
pun mulai bergerak cepat. Setiap ada cela yang bisa dimanfaatkan bank
langsung masuk, sebab meski menggarap layanan transaksi non
tunai,membutuhkan investasi yang mahal, namun bagi bank tetap ada
cela untuk meraup untuk besar, sementara bagi masyarakat akan semakin
di mudahkan dan dimanjakan dengan kemudahan layanan yang diadapat.
Terbaru
bank memanfaatkan membanjirnya pengguna gadget yang melesat
hingga pelosok desa. Bahkan perbandingan antara jumlah penduduk
dengan pengguna ponsel jauh lebih banyak pengguna ponsel. ini menjadi
peluang yang ditangkap semua perbankan. di Sumsel meski penggunaan
posel pintas untuk kalangan masyarakat pedesaan dan kalangan menengah
kebawah baru booming dua tahun terakhir ini, namun jumlah penggunanya
sudah melesat tajam.
Untuk
memanfaatkan pengguna ponsel sebagai nasabah, bagi bank tentu menjadi
tantangan tersendiri, sebab yang menjadi permasalahan tidak semua
masyarakat pengguna ponsel nasabah bank. Selain itu masalah pemahaman
yang minim masih menjdi faktor kendala.
CEO
Bank Mandiri Wilayah Sumatera II Kuki Kadarisman menambahkan pihaknya
menyambut positif adanya Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) atas
penggunaan less cash
society yang
diprakarsai Kantor Perwakilan BI Wilayah VII Palembang. Dia menilai
kendala dalam penggunaan e-money
lantaran kurangnya edukasi dan sosialisasi serta ketersediaan
infrastruktur yang dapat menjangkau hingga seluruh masyarakat sampai
ke daerah.
“Khusus
di Bank Mandiri Wilayah Sumatera II tercatat sudah 85 persen nasabah
telah menggunakan non tunai dibanding transaksi tunai. Transaksi non
tunai bisa melalui jaringan e-channel
seperti e-money,
sms banking, internet banking, ATM, EDC, dan lainnya. Sedangkan 15
persen masih menggunakan transaksi tunai,” ujarnya.
Dia
mengklaim peralihan penerapan transaksi non tunai sebenarnya sudah
berlangsung sejak 2005 lalu dan penerapan e money ini diharapkan pula
dapat menjadi contoh bagi perbankan lain sekaligus mengajak
masyarakat untuk membiasakan diri menggunakan uang elektronik. Saat
ini di area Sumatera II tercatat ada 1.016 buah jaringan e-channel,
16.755 unit mesin EDC, sms banking dengan kuantitas pengguna sekitar
750.000 user.
Sebagai
upaya mendoron peningkatan transaksi less
cash society, kami
berikan poin, diskon 25% di merchant kerjasama Bank Mandiri dan
lainnya. Ke depan kami pun akan memperbanyak kerjasama dengan
merchant dan perbankan mesin EDC. (*/bersambung)