Selasa, 25 Agustus 2015

Memasyarakatkan Transaksi Non Tunai

Penulis : Ilham - PALEMBANG


Uang merupakan alat tukar resmi untuk digunakan dalam sistem perdagangan. Jauh sebelum uang banyak beredar, kita mengenal sistem perdagangan melalui sistem barter atau tukar menukar barang tanpa menggunakan uang.
Meski sifatnya barter, namun pola perdagangan seperti ini tetap berlangsung di pasar. Beras bisa ditukar dengan sayur, atau sebaliknya bergantung dengan kebutuhan masing-masing. Namun pola perdagangan seperti ini sulit untuk mengenali berapa nilai dari satu barang yang diperjual belikan melalui sistem barter.
Dalam perkembangannya, pemerintah melalui Bank Indonesia sejak 69 tahun lalu mulai aktif menerbitkan uang sebagai alat tukar resmi dalam perdagangan. Sejak dikenal dua jenis uang bahan logam dan bahan kertas. Uang memang menjadi alat kebutuhan pokok sehari-hari, hampir semua aktivitas membutuhkan uang. Membeli perlengkapan, sekolah transportasi hingga buang kotoran dalam tubuh di tempat umum harus membutuhkan uang.
Setiap kepingan uang logam dan lembaran uang kertas, memiliki nilai yang berbeda. Seperti kata pepatah tidak ada uang tak ada barang, artinya ketika seseorang hendak membeli sesuatu uang yang harus disediakan sebagai alat tukar resmi yang diterbitkan pemerintah. Bank Indonesia selaku bank sentral yang memiliki mandat untuk menerbitkan uang setiap tahunnya mencetak uang dalam jumlah besar tentu dengan biaya yang cukup besar juga.
Perkembangannya di era yang semakin moderen, penggunaan uang sebisa mungkin dikurangi. Ini menyusul dengan terus meningkatnya biaya pencetakan uang. Satu riset menyebut, untuk satu lembar uang kertas biaya pencetakannya berkisar Rp16, dikalikan saja dengan triliunan lembar uang yang dicetak setiap tahunnya.
Bank Indonesia bersama lembaga keuangan bank mulai mencari rumusan untuk mengurangi angka peredaran uang, salah satu langkah yang ditempuh melalui penerbitan uang kartu alat alat pembayaran berbentuk kartu. Saat ini masyarakat sudah beredar beberapa jenis kartu yang bisa difungsikan sebagai alat pembayaran, mulai dari katu debit, kartu kredit hingga terbaru elektronic money. Semua jenis kartu ini merupakan alat pembayaran yang diterbitkan bank selaku perusahaan yang dipercaya untuk tempat penyimpanan uang.
Alternatif yang dilakukan dengan mengajak masyarakat khususnya yang sudah melek perbankan, untuk beralih menggunakan sistem pembayaran non tunai atau yang lazim disebut less cash society. Instrumen yang digunakan nasabah bank cukup banyak, mulai dari yang paling canggih menggunakan internet banking, SMS banking, hingga e-banking dan e-channel dan e-money. Sebelum instrumen canggih ini dikenal, banyak masyarakat orang terlebih dulu sudah mengenal ATM dan kartu kredit sebagai alat pembayaran menggunakan kartu.
Secara nasional, Bank Indonesia terus menggalakkan sistem pembayaran tanpa harus menggunakan uang melainkan menggantinya menggunakan kartu alat sering disebut less cash society. Di provinsi Sumatera Selatan, Bank Indonesia bersama lima bank mulai mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) untuk sistem pembayaran masyarakat, sebagai langkah awal membiasakan transaksi non tunai.
Ada lima bank yang terkait dalam gerakan ini, yakni Bank Mandiri, Bank Sumsel Babel, BCA, BRI dan BNI. Kepala Unit Sistem Pembayaran Bank Indonesia Provinsi Sumatra Selatan Dadan M Sadrah mengungkapkan, GNNT ini merupakan wujud dari perkembangan teknologi sehingga mendorong masyarakat untuk mulai peka terhadap perkembangan teknologi termasuk sistem pembayaran.
Salah satu tujuan dari GNNT ini untuk memberikan kemudahan dan efisiensi waktu dalam pembayaran sehingga sangat memungkinkan digunakan untuk pembayaran yang sifatnya praktis namun terkadang antriannya panjang, seperti di supermarket, tol maupun pengisian bensin.
Bank Indonesia bersama kementerian terkait sudah mencanangkan GNNT ini dibeberapa kota seperti Makassar, Banjar Masin, Denpasar, Surabaya, Jogja, Bandung, Padang dan Palembang. Untuk pengenalan gerakan ini semua kota tersebut menggan dengan perguruan tingga dan pemerintah daerah. “Di Palembang sendiri responnya sangat bagus terutama dari gubernur Sumsel yang turut ikut mendorong suksesnya program ini kedepannya,” katanya.
Penerapan less cash society sudah digaungkan sejak beberapa tahun terakhir. Namun sejauh ini penetrasinya masih belum memuaskan. Kendala infrastruktur seperti jaringan terlekomunikasi dan listrik kerap menjadi kendala yang menyulitkan.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah VII Palembang mencatat infrastruktur menjadi hambatan dalam implementasi program less cash society, terutama di kabupaten dan kota yang memiliki desa pelosok yang jauh dari jangkauan listrik dan jaringan telekomunikasi. Namun, BI Palembang bersama bank mitra terkait akan terus berupaya secara bertahap mengedukasi, sosialisasi guna tercapainya penerapan program Layanan Keuangan Digital (LKD).
Memang kami akui di lapangan masih banyak ditemukan kabupaten kota yang belum memiliki infrastruktur yang handal. Perbaikan infrastruktur untuk menunjang LKD pastinya dilakukan secara bertahap, mulai dari jaringan komunikasi, listrik PLN, SDM hingga mesin penunjang penggunaan uang e-money,” kata Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatra Selatan Hamid Ponco.
Menurut dia, terwujudnya program less cash society ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua perbankan yang ada di Sumsel. Dia mengaku, penerapan e-money ini bukan berarti secara langsung menghilangkan transaksi uang tunai. Melainkan dilakukan bertahap seiring dengan upaya pembenahan infrastruktur yang ada, baik yang dilakukan pemerintah, swasta maupun perbankan.
Kami menjadi pilot project implementasi dari uang elektronik atau e-money di Sumatera. Sebagai tahap awal, kami me-launching penggunaan e-money di koperasi dan kantin dalam lingkungan Kantor Perwakilan BI Palembang. Maksimum nilai uang dalam e-money Rp1 juta,” terangnya.
Ke depan, pihaknya akan terus melakukan edukasi dan sosialisasi atas penerapan program LKD. Bahkan tidak menutupkemungkinan akan menjalin kerjasama atau MoU dengan pemerintah provinsi untuk memperluas penerapan less cash society.
Pengenalan less cash society ada baiknya dilakukan didalam lingkungan keluarga. Kami senantiasa mengedukasi masyarakat untuk menerapkan program less cash society. Less cash society ini merupakan sebuah gaya hidup dimana uang cash digantikan oleh keberadaan uang elektronik dalam tiap transaksi. Cukup satu kartu saja nasabah dapat memanfaatkannya tanpa harus membawa uang cash,” jelasnya.
Meski sudah dicanangkan jauh-jauh hari, namun implementasinya tentu tidak mudah, regulator bersama bank pelaksana harus menerobos kebiasaan yang sudah dilakukan masyarakat secara turun temurun, ketika mereka ingin berbelanja pasti akan membawa uang dalam bentuk cash tidak terlepas besar kecilnya belanjaan. sementara disisi lain perbankan ingin merupakan pola kebiasaan menggantikan uang dengan kartu tentu butuh waktu.
Merubah watak dan tradisi yang sudah melekat, butuh pengorbanan. Bagi bank untuk membiasakan masyarakat beralih ke sistem pembayaran non tunai membutuhkan modal yang tidak sedikit. sosialisasi berkala tentu perlu dilakukan, sementara ketersediaan infrastruktur juga menjadi hal yang wajib.
Ajak Pemda jadi Pionnir
Bank Indonesia mendorong pemerintah daerah untuk menjadi leader penerapan sistem pembayaran dengan cara non tunai. Meski sudah dicanangkan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) namun baru 60 persen transaksi Pemda menggunakan non tunai.
Usai acara sosialisasi transaksi non tunai kepada Pemerintah Daerah, Kepala Unit Sistem Pembayaran Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumsel, Dadan M Sadrah mengungkapkan, selama ini yang menjadi kendala bagi pemda untuk melakukan transkasi non tunai terletak pada faslitas dan infrastruktur. Selain itu faktor pemahaman mayarakat juga kurang.
Dari berbagai belanja pemerintah, seperti pajak, gaji PNS, tender proyek dan lainnya sudah bisa dilakukan dengan cara non tunai. Namun ada beberapa transaksi yang masih menggunkana pola pembayaran manual alias menggunakan uang cash.
Kebanyakan transaksi yang dilakukan menggunakan pola manual adalah belanja pemerintah yang ditujukan kepada mayarakat terutama di pelosok yang belum memiliki akses jaringan perbankan.
Beberapa transaksi seperti pembayaran pajak daerah, PNPB, bantuan sosial, belanja perjalanan dinas, pembayaran barang dan jasa, PBB dan transaksi lainnya. Kebanyakan transaksi ini dilakukan oleh mayarakat atau unsur Pemda yang berada di daerah pelosok,” jelas Dadan.
Jika infrastruktur sudah memadai, semua transaksi tersebut sebetulnya sudah bisa dilakukan dengan sistem non tunai, asalkan peralatannya sudah memadai. Melalui gerakan non tunai yang sudah dicanangkan, semuanya bisa dilakukan.
Tinggal bagaimana pemerintah dan perbankan memberikan akses mudah untuk penyebaran agen Layanan Keuangan Digital (LKD). Sebab, dengan layanan ini, transaksi tidak mesti harus datang ke jaringan kantor bank. Namun baik pemerintah maupun mayarakat bisa bertransaksi dengan menggunakan ponsel mereka masing-masing melalui perantara agen.
Untuk menggalakkan sistem pembaran non tunai, tentu masih butuh perjuangan, sosialisasi dan pendidikan keuangan kepada mayarakat. Sebab sejauh ini 90 persen transaksi pembayaran yang dilakukan mayarakat masih menggunakan pola tunai. Kondisi ini tentu menjadi cost yang berat bagi negara. Sebab, biaya untuk mencetak uang sekarang ini sudah semakin mahal. “Kita sudah saatnya meniru negara miskin di Afrika seperti Kenya yang sudah menerapkan non tunai melebihi pembayaran tunai, atau mencontoh Fhilipina yang transaksi non tunainya sudah mencapai 80 persen,” kata Dadan.
Untuk itu, pemerintah daerah harus menjadi pioner penerapan sistem pembayaran non tunai ini, setidaknya Pemda memberikan contoh kepada masyarakat, ketika mereka melakukan pembayaran tidak harus menggunakan uang tunai. Jika sudah ada contoh, tentu Pemda tinggal memberikan penekanan kepada masyarakat, jika melakukan hubungan transaksi jual belu harus menggunakan mesin. Pola ini tentu bisa menjadi pengamanan dari transai yang tidak semestinya atas penggunaan uang negara.
Kepala Bidang e-Banking BRI, Johan Arief mengungkapkan, penetrasi penyebaran agen LKD melalui produk BRILink saat ini sudah sangat bagsu, antusias mayarakat terutama dipelosok sudah sangat tinggi. Sehingga meski belum genap satu tahun diluncurkan BRI sudah merekrut agen lebih dari tiga ribu agen.
Bagi agen, selain membantu penetrasi penerapan gerakan non tunai, menjadi agen juga menjadi potensi tambahan penghasilan, sebab setiap transaksi yang dilakukan mayarakat maka si agen akan mendapatkan fee dari bank maupun dari nasabah,” jelas dia.
Bank dalam Genggaman
Seiring dengan upaya pemerintah melalui Bank Indonesia untuk menggerakkan dan menggalakkan sistem pembayaran non tunai, perbankan pun mulai bergerak cepat. Setiap ada cela yang bisa dimanfaatkan bank langsung masuk, sebab meski menggarap layanan transaksi non tunai,membutuhkan investasi yang mahal, namun bagi bank tetap ada cela untuk meraup untuk besar, sementara bagi masyarakat akan semakin di mudahkan dan dimanjakan dengan kemudahan layanan yang diadapat.
Terbaru bank memanfaatkan membanjirnya pengguna gadget yang melesat hingga pelosok desa. Bahkan perbandingan antara jumlah penduduk dengan pengguna ponsel jauh lebih banyak pengguna ponsel. ini menjadi peluang yang ditangkap semua perbankan. di Sumsel meski penggunaan posel pintas untuk kalangan masyarakat pedesaan dan kalangan menengah kebawah baru booming dua tahun terakhir ini, namun jumlah penggunanya sudah melesat tajam.
Untuk memanfaatkan pengguna ponsel sebagai nasabah, bagi bank tentu menjadi tantangan tersendiri, sebab yang menjadi permasalahan tidak semua masyarakat pengguna ponsel nasabah bank. Selain itu masalah pemahaman yang minim masih menjdi faktor kendala.
CEO Bank Mandiri Wilayah Sumatera II Kuki Kadarisman menambahkan pihaknya menyambut positif adanya Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) atas penggunaan less cash society yang diprakarsai Kantor Perwakilan BI Wilayah VII Palembang. Dia menilai kendala dalam penggunaan e-money lantaran kurangnya edukasi dan sosialisasi serta ketersediaan infrastruktur yang dapat menjangkau hingga seluruh masyarakat sampai ke daerah.
Khusus di Bank Mandiri Wilayah Sumatera II tercatat sudah 85 persen nasabah telah menggunakan non tunai dibanding transaksi tunai. Transaksi non tunai bisa melalui jaringan e-channel seperti e-money, sms banking, internet banking, ATM, EDC, dan lainnya. Sedangkan 15 persen masih menggunakan transaksi tunai,” ujarnya.
Dia mengklaim peralihan penerapan transaksi non tunai sebenarnya sudah berlangsung sejak 2005 lalu dan penerapan e money ini diharapkan pula dapat menjadi contoh bagi perbankan lain sekaligus mengajak masyarakat untuk membiasakan diri menggunakan uang elektronik. Saat ini di area Sumatera II tercatat ada 1.016 buah jaringan e-channel, 16.755 unit mesin EDC, sms banking dengan kuantitas pengguna sekitar 750.000 user.
Sebagai upaya mendoron peningkatan transaksi less cash society, kami berikan poin, diskon 25% di merchant kerjasama Bank Mandiri dan lainnya. Ke depan kami pun akan memperbanyak kerjasama dengan merchant dan perbankan mesin EDC. (*/bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar