Selasa, 25 Agustus 2015

Membumikan Branchless Banking di Sumsel


Penulis : Ilham PALEMBANG

Sejak era krisis moneter yang menimpa Indonesia 1998 silam, mengakibatkan industri perbankan nyaris mati total. Kini, perkembangan industri perbankan berkembang pesat dan semakin canggi. Semua fitur dan layanan perbankan bisa diakses dengan mudah.
Perkembangan tingginya pertumbuan industri keuangan membuat perbankan seakan berlomba meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat tujuannya tidak lain untuk mendapatkan nasabah sebanyak mungkin. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang paling subur jumlah bank.

Bahkan, kota metropolis seperti Palembang sudah memiliki lebih dari 50 perbankan, ini tentu membuktikan jika industri ini tumbuh melesat dan semakin dibutuhkan masyarakat. Namun, perkembangan itu menimbulkan pertanyaan, apakah layanan perbankan itu tersebar merata hingga daerah pelosok yang jauh dari jangkauan pusat kota. Sebab, ketika satu bank memutuskan untuk membuka kantor cabang alternatif utama, yang akan diambil adalah kota besar yang memiliki pusat keramaian, seperti pusat perbelanjaan atau pasar tradisional. 
 
Di Sumatara Selatan, ada dari lebih dari 50 bank, hanya bank-bank besar saja yang memiliki cabang di kabupaten/kota. Sisanya hanya berkantor pusat di Kota Palembang selaku ibukota provinsi. Apalagi untuk daerah pelosok kabupaten yang memang jauh dari jangkauan kota, sejauh ini baru bebeapa bank plat merah saja yang berani membuka cabang, itupun hanya mengutakan tempat yang memiliki potensi perputran uang tinggi.

Di era moderen, bank selalu menjadi alternatif masyarakat, baik untuk berinvestasi atau sebagai fasilitas pinjaman untuk modal usaha. Di daerah pelosok, kebanyakan masyarakat masih menggunakan jasa rentenir sebagai tempat meminjambaik untuk modal usaha atau untuk kebutuhan lainnya. Seharusnya, jika perbankan bisa masuk jelas bisa memangkas dan mempersempit ruang gerak para lintah darat yang keberadaannya jelas-jelas menyusahkan masyarakat, meski secara sepintas berkedok ingin menolong.

Bagi perbankan, membuka jaringan kantor di daerah pelok desa, bukan tanpa keinginan. Namun, bank juga mempertimbangkan faktor cosh operasional dan dibandingkan dengan keuntungan yang didapat. Meski kebutuhan perbankan di daerah sangat dibutuhkan, namun tidak serta merta bank langsung membuka kantor cabang. Jangankan bank umum nasional Bank Pembangunan Daerah saja masih pikir-pikir untuk membuka layanan di daerah, selain faktor modal dan biaya, faktor keamanan juga menadi pertimbangan. Tingkat kerawanan keamanan di daerah pelosok jauh lebih tinggi ketimbang di kota besar. Makanya meski ada dorongan dari pemerintah daerah bagi perbankan untuk membuka akses layanan hingga pelosok desa, bank masih berat untuk mengimplementasikannya.

Bank Indonesia selaku regulator, mulai menyadari pentingnya memberikan akses layanan perbankan untuk masyarakat pelosok desa. alternatif yang dipilih melalui layanan bank namun tidak mesti menggunakan kantor operasional seperti di kota. Makanya sejak akhir 2013 Bank Indonesia secara resmi meluncurkan layanan branchless banking atau layanan bank tanpa kantor.

Untuk tahap ujicoba, awalnya baru dua bank yang diberikan kesempatan untuk membuka layanan ini yani Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Bank Mandiri melakukan ujicoba dengan membuka layanan bank tanpa kantor di dua tempat, pertama di Desa Limang Jaya kecamatan Tanjung Batu Kabupten Ogan Ilir. Daerah ini berada sekitar 200 kilo meter dari pusat Kota Palembang. Tempat kedua di Desa Sembawa Kecamatan Sumbawa Kabupaten Banyuasin. Sementara BRI lebih memilih membuka layanan di daerah pinggiran kota Palembang yang masyarakatnya masih belum kenal dengan perbankan.

Layanan branchless banking merupakan layanan perbankan moderen menggunakan sistem agen. Masyarakat yang memiliki usaha kecil yang sudah bankabel diberikan kesempatan untuk menjagi agen.
Regional CEO Bank Mandiri Sumatra II Kuki Kadarisman mengungkapkan, layanan branchless banking merupakan satu terobosan baru di duni perbankan. Selain sebagai fasilitas penekanan biaya operasional bank untuk melakukan ekspnasi jaringan, dengan progam layanan tanpa kantor masyarakat memiliki kesempatan untuk mengakses layanan perbankan meski berada jauh di pelosok daerah. 
 
Keberadaan layanan perbankan di pelosok akan menjadi alternatif baru bagi masyarakat dalam mengelola keuangan. Bank Mandiri sebetulnya sudah lama memiliki misi untuk memperluas jaringan yang bisa menjangkau semua lapisan masyarakat, namun meski mencatkan diri sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia, namun tidak mudah bagi bank plat merah ini untuk menjangukau setiap jengkau wilayah di Sumsel dengan layanan perbankan. Makanya ketika BI membuka akses layanan bank tanpa kantor Mandiri merupakan bank yang paling antusias untuk mengembangkan layanan ini.

“Jika bank harus membuka jaringan di daera pelosok modalnya sangat besar, yang menjadi ambatan terkadang besaran modal yang dikeluarkan tidak seimbang dengan keuntungan yang didapat. Namun hadirnya branchless banking tentu bisa menjadi jawaban atas permasalahan jaringan bank di pelosok,” kata Kuki.

Meski sudah dicanangkan sejak tiga tahun lalu, namun sejauh ini layanan ini belum berjalan maksimal. Sosialisasi yang harus membutuhkan dana besar masih menjadi kendala, apalagi program lain yang merupakan satu rangkaian dengan branchless banking yakni less cash society masih masih dalam tahap pengenalan kepada masyarakat. Namun meski masih terkendala sosialisasi yang minim, Bank Mandiri sudah memiliki pola tersendiri untuk mengembangkan layanan branchless banking.

Mandiri mengembangkan program ini melalui sistem skala prioritas, Mandiri memanfaatkan nasabah loyal yang datang dari daerah pelosok sebagai kaki tangan pengembangan layanan bank tanpa kantor. “Di Sumsel kami memiliki 207 cabang yang sudah kami kerahkan untuk memperluang jaringan branchless banking ini. Setiap cabang yang memiliki latar belakang pengusaha kecil yang memiliki catatan bagus di Mandiri akan di prioritaskan untuk menjadi agen,” katanya.

Progam ini dinilainya cukup dahsyat jika sudah berjalan sesuai rencana. Negara maju di Asia dan Eropa yang sudah sukses dan bisa menikmati hasil dari progam bank tanpa kantor ini, di Indonesia sejauh ini baru Jakarta dan Bali saja yang sudah menuju sukses penerapannya. Suksesnya Bali menyelenggarakan ini selaun Jakarta, karena mayoritas masyarakat yang ada di Bali merupakan pendatang, sementara wilayahnya yang berbentuk pulau kecil memudahkan bagi bank untuk melakukan sosialisasi.

Kuki menilai, jika program branchless banking atau progam laku pandai miliknya OJK berjalan sukses, dirinya sangat optimis program ini bisa menggerakkan semua sendiri perekonomian yang ada di dasa.
Khusus untuk Bank Mandiri, hingga tahun 2015 ini total sudah ada 113 orang yang direkrut menjadiagen, meski intensitas transaksi relatif masih kecil, namun yang mecukup membanggakan volume transaksinya terus mengalami peningkatan. “Pengenalan dan pelatihan kepada agen terus dilakukan, sebab dalam sistem perbankan, banyak aplikasi dan teklogi mesin yang pelu dikuasai agen, selain itu, tekrutmen terhadap agen baru di daerah yang memiliki perputaran ekonomi bagus terus dilakukan,” terang dia.

Dalam program branchless banking ini banyak transaksi yang bisa dilakukan masyarakat di agen. transaksi induk yang menjadi kebutuhan utama bank seperti setoran, tarik tunai, transfer atau melakukan pembayaran tagihan bisa dilakukan. Di Kecamatan Tanjung Batu yang menjadi objek awal penerapan progam ini Bank Mandiri awalnya hanya merekrut dua agen. Satu pengusaha pandai besi dan satu warung kelontongan yang menjual aneka manisan serta kebutuhan rumah tangga. Pengrajin pandai besi di sana jumlahnya ada ratusan orang, namun dari sekian banyak ada satu pengrajin yang memiliki latan belakang pengusaha, setiap pengrajin selalu mengambil bahan dari pengusaha ini dan hasilnya juga di jual ke sana.

Kerajinan pandai besi yang dibuat di kecamaan Tanjung Batu memproduksi aneka parang, pisau anal pertanian yang terbuat dari bahan besi, cangkul dan lainnya. Hampir semua produksinya disuplay untuk di semua daerah di Sumsel bahkan sebagian ada yang dijual sampai jawa dan Kalimantan.
Penjualan yang capai beberapa daerah menjadi peluang bagi bank untuk meliriknya menjadi nasabah, apalagi ketika progam branchless banking diterapkan bank tidak ragu lagi merekrutnya menjadi agen sebab dari sisi bisnis cukup meyakinkan, belum lagi kebutuhan layanan lain yang menjadi potensi tersendiri. 
 
Mayoritas masyarakat Tanjung Batu menyekolahkan anaknya di luar Kabupaten OI baik di Palembang dan di Jawa. Aktivitas pengiriman uang rutin dilakukan setiap bulan, belum lagi kebutuhan masyarakat yang harus rutin membayar membayar listrik setiap bulan. “Hal ini tentu menjadi potensi awal bagi masyarakat yang menjadi agen untuk memiliki penghasilan tambahan,” katanya. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar